Tuesday, February 7, 2017

Konsep Masyarakat Maritim

Konsep Masyarakat Maritim


Konsep Masyarakat Maritim - Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif. Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 46 tahun yang lalu kebijakan pembangunan kesehatan masyarakat tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Munculnya tatanan masyarakat maritim sebagai suatu komunitas tradisional berawal dari kebangkitan kerajaan maritim di Sulawesi Selatan yang sangat berpengaruh di Kawasan Timur Indonesia pada abad XV – XVII. Setidaknya, ada tiga ciri utama pola dasar pembentukan kehidupan budaya masyarakat maritim yaitu kultur laut (tas‘ akkajang), tradisi agraris (pallaon ruma) dan mobilitas pasar (pasa-maroae) atau pedagang. Ketiga pola ini erat hubungannya dengan ekologi, letak geografis dan tatanan sosial-budaya masyarakat maritim.


Bila tasi’ akkajang dominan dalam aktivitas masyarakat, maka pranata-pranata yang tumbuh dalam masyarakat mengarah ke kultur laut. Dalam suasana seperti ini, ritual-ritual yang erat hubungannya dengan laut tumbuh dan menjadi pesat. Ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, adat, mistik, hukum yang erat hubungannya dengan dunia kemaritiman tumbuh dengan pesatnya. Secara historis pertumbuhan masyarakat semacam ini dapat ditemukan pada daerah-daerah pesisir Sulawesi Selatan yang mendapat pengaruh dari kerajaan Gowa, kerajaan Makassar pada abad XVI – XVII. Bila aktivitas “pallaon-ruma” mewarnai kegiatan masyarakat, maka pranata-pranata yang tumbuh pun merujuk ke tradisi agraris. Pada masyarakat ini ditemukan ritual-ritual agraris. Ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, adat, mistik, hukum dan lain-lainnya yang berkaitan erat dengan pertanian tumbuh pesat. Basis agraris ini dipengaruhi oleh kerajaan Bone, Sidenreng dan Soppeng yang merupakan kerajaan agraris Bugis dan sangat berpengaruhi di daerah pedalaman Sulawesi Selatan pad abad ke XV – XVII.

Bila aktivitas pasa’ maroae atau pa’ balu-balu lebih dominan dalam masyarakat maritim, maka aturan-aturan atau adat istiadat yang menyangkut perdagangan/jual beli (bicaranna pabalue) menjadi ketentuan yang sangat dipatuhi oleh masyarakat. Kondisi masyarakat semacam ini berada di bawah pengaruh kerajaan Wajo yang hingga sekarang dikenal sebagai negeri asal para pedagang Bugis. Konsep budaya maritim, tidak hanya terbatas pada masalah tasi’ akkajang tetapi juga sangat erat hubungannya dengan pasa’ maroae atau pa’ balu-balu yang dilakukan melalui pelayaran dan lintas laut. Corak niaga semacam ini disebut passompe atau perniagaan laut.

Kompleksitas perwujudan budaya yang berhubungan dengan laut, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, tradisi besar kemaritiman, diwakili kaum bangsawan, orang-orang baik (tubaji), dan orang-orang kaya (tukalumannyang), para pemilik modal, serta penduduk perkotaan di pesisir pantai. Kedua, tradisi kecil kemaritiman diwakili rakyat biasa atau nelayan, para sawi (klien). Pada tradisi besar kemaritiman ditemukan kompleksitas budaya yang mencakup; ide-ide gagasan-gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan, tindakan-tindakan, dan aktivitas serta benda-benda hasil karya yang berhubungan dengan laut, baik secara langsung atau tidak langsung. Secara harfiah dapat dikatakan bahwa filsafat, seni, mistik, arsitektur, birokrasi, perang dan lain-lain bersumber dari tradisi besar. Dengan demikian, tampak adanya perbedaan antara kebudayaan maritim dan kebudayaan nelayan.

Nelayan acap kali diasosiasikan dengan kemiskinan dan karenanya budaya nelayan atau kebiasaan masyarakat pesisir diidentikkan dengan kemiskinan atau budaya orang miskin. Meskipun tak dapat disangkali bahwa pendukung kebudayaan maritim adalah kaum nelayan, tetapi nelayan hanyalah kelompok masyarakat pemangku “abiasang jemma tebbe” (little tradition) dari masyarakat bahari. Jaringan aktivitasnya sangat terbatas pada penangkapan ikan, sistem pengetahuan yang berkembang pun berhubungan erat dengan penangkapan ikan dan sumberdaya laut, sementara jaringan sosial-nya sangat terbatas pada network pinggawa-sawi (patron-klien). Sedangkan Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP) Departemen Pertanian mengartikan nelayan sebagai pengelola usaha penangkapan ikan yang sebagian atau seluruh pendapatannya diperoleh dengan jalan melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan umum.

Nama     :    Andi Asrul Zani
Nim        :    A21113310
Jurusan   :    Manajemen (B)
Fakultas  :    Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar

Available link for download